Pertumbuhan ekonomi sangat mempengaruhi angka pengangguran. Statemen itu terbukti. Menurut Direktur Perencanaan Ekonomi Makro Bappenas, Bambang Priambodo, setiap satu persen pertumbuhan PDB, hanya mampu menyerap 300-400 ribu orang tenaga kerja. Sementara pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2007 lalu hanya 6,2 persen saja. Itu artinya, untuk tahun 2008 ini, hanya 1,8-2 juta orang pengangguran saja yang bisa mendapatkan pekerjaan. Bisa dihitung, kalau Indonesia bertekad menuntaskan masalah pengangguran, maka pertumbuhan ekonomi harus lima kali lipat. Sebab, jumlah pengangguran terbuka kita sekitar 10,10 juta orang.
Melihat kenyataan ini, semestinya lembaga-lembaga pendidikan, punya tanggung jawab moral terhadap lulusannya, jangan sampai menambah deretan jumlah pengangguran yang sudah ada. Jalannya tentu saja membangun mentalitas entrepreneur dan kecakapan hidup (life skill), tamat dari studi, bukan mencari pekerjaan, melainkan menciptakan lapangan pekerjaan.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) pendidikan dibagi ke dalam tiga katagori: informal adalah pendidikan di rumah tangga; formal merupakan pendidikan yang berjenjang dari SD hingga perguruan tinggi; sedangkan nonformal adalah pendidikan luar sekolah seperti life skill. Bangsa yang terdiri dari lebih 220 juta jiwa ini sesungguhnya merupakan komunitas yang begitu majemuk (heterogen) dengan tingkat kebutuhan yang majemuk pula.
Artinya, tidak semua orang di Indonesia ini bercita-cita ataupun mampu meraih cita-cita sebagai sarjana: S1, S2, S3 dan lainnya. Nah, memaksakan pemikiran kepada polarisme merupakan sesuatu yang sejatinya perbuatan sangat tidak mendidik dan bertentangan dengan konsep pendidikan yang membebaskan.
Justru itu, program life skill penting untuk dimasyarakatkan. Sebut saja bidang komputer, jahit-menjahit, montir, bahasa Inggris serta lainnya, sangat besar manfaatnya buat kehidupan. Mentalitas entrepreneur saja tanpa dibarengi kecakapan hidup, boleh jadi akan hampa. Kecakapan hidup merupakan modal dasar yang tentu saja akan menemukan kesejatiannya jika dikombinasikan dengan entrepreneurialship.
Apalagi keahlian-keahlian seperti komputer dipadu dengan kemampuan berbahasa asing, seperti bahasa Inggris maka peluang kerja--membuka lapangan pekerjaan maupun mencari kerja--akan semakin terbuka lebar. Saat ini -sesuai dengan tuntutan globalisasi-mengandalkan ijazah saja (bahkan S1) tidaklah cukup tanpa dibarengi dengan kecakapan hidup (life skill).
Ini menjadi penting, karena jumlah angkatan kerja yang menganggur cukup krusial untuk jadi perhatian serius. Angkatan kerja yang menganggur di Indonesia melampaui standar ILO (International Labour Organization), 20 persen dari jumlah penduduk. Sementara, angka pengangguran di Indonesia sudah melampaui 28 persen. Ini berbahaya! Dengan upaya-upaya pelatihan life skill, niscaya angkatan kerja kita punya keterampilan yang siap pakai dan profesional, sehingga tidak menganggur atau menjadi tenaga kerja murahan. Jadi, jika ada program yang digulirkan pemerintah bekerjasama dengan lembaga swasta atau LSM maupun NGO, seharusnyalah peserta menghargai niat baik pemerintah ini dengan belajar bersungguh-sungguh.
Manakala pendidikan telah dapat berfungsi sebagai pembebas dan proses pembelajaran merupakan hal yang menggembirakan, niscaya pendidikan pun dapat berfungsi sebagai lembaga perbaikan nasib. Untuk dapat menjadikan pendidikan sebagai lembaga perbaikan nasib, prestasi yang dicapai siswa/mahasiswa seyogianya secara signifikan berhubungan dengan kesempatan memperoleh pekerjaan sesuai dengan keahlian atau prestasinya.
0 komentar:
Posting Komentar